Perjalanan hidup

Perjalanan hidup

Sabtu, 27 Juni 2015

Teriakan Diam



          Menatap wajah-wajah bahagia di hari pernikahan adalah impian dari semua pasangan pengantin. Aku lihat penampakan ekspresi wajah itu dari teman-teman kuliah. Bahagia, senang, iya, untuk saat ini. Tapi wajah Abah-Mamaku? Ah, aku tak sanggup melihatnya lebih lama. Apa mereka senang? Bahagia? Entahlah. Yang aku tahu, mata mama yang selalu bercahaya itu terlihat redup. Ucapan selamat dari sanak saudara, kerabat, dan tetangga hanya dibalas dengan senyum tanggung yang tipis dan teramat berat.
          Bagi perempuan, menikah di usia 23 tahun tidak ada yang salah. Pun ketika masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Banyak teman-teman kampusku melakukannya, bahkan ada yang sudah punya anak satu. Lagi pula, bukankah setiap manusia menginginkan sebuah pernikahan? Tak terkecuali aku. Tapi ini bukan pernikahan yang aku dan orang tuaku inginkan.
          Dua minggu setelah acara ijab kabul dan resepsi pernikahan berlangsung, tatapan dan ekspresi wajah-wajah senang itu sebagian mulai berubah. Tatapan curiga, penuh tanda tanya, berbagai spekulasi, suasana seperti itu yang seolah mengiringi langkah kakiku.
          Seorang teman tanpa curiga dan tanpa ekspresi bersalah berani bertanya, "Wah, sudah isi?" katanya saat melihat perubahan bentuk fisikku. Aku hanya menjawab dengan tersenyum.
          Seminggu lagi berlalu. Kini semua orang mulai berbisik di belakangku.
          Selaksa hembusan angin musim kemarau..
          Seribu wajah menatap murka...
          Ribuan telunjuk menuding marah...
          Mulut-mulut berbau terus mencerca...
          "Perempuan jalang"...
          Itu yang mereka teriakkan dalam diam...
          Tak tahan dengan semua mata yang seolah menghujam, dan bisikan yang seperti membakar, akhirnya kuteriakkan semuanya di telinga-telinga orang yang haus.
          "Apa aku salah memutuskan mengandung aib ini? Mempertahankannya dengan pernikahan ketika ia sudah bersemayam 6 bulan di rahimku? Saat ia tak mau pergi setelah kucoba membunuhnya sejak 3 bulan lalu?"

Banjarmasin 130114

Jumat, 12 Desember 2014

(Cerpen) Kapan Nikah?



            Memasuki dunia kerja ternyata tidak semenyenangkan yang aku bayangkan. Tapi itulah fase hidup yang harus dilalui manusia. Hal ini masih lebih baik daripada jadi pengangguran. Bukannya aku tidak mensyukuri apa yang didapat. Hanya saja dunia kerja seakan telah membatasi ruang lingkup bermasyarakatku. Tapi lagi-lagi aku memang harus bersyukur. Bekerja sebagai IT support di sebuah perusahaan besar, bergelut dengan komputer, jaringan dan segala macam perangkatnya adalah hal yang kusukai walau kadang harus rela kerja lembur hanya karena jaringan internet sedikit bermasalah.
            Seperti malam ini, setelah hampir 2 jam lembur di kantor akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan kasur tercinta. Yah, meski hubunganku dengan kasur ini tidak terlalu harmonis, karena sejak masih kuliah dulu ia sering kutinggal begadang namun tetap saja ia kurindukan. Aku lebih suka bermesraan dengan perangkat lunak komputer dibanding kasur yang selalu setia menunggu.
            Sejak bekerja di perusahaan yang terletak di Ibu Kota, aku memang harus hidup sendiri dengan mengontrak kamar sederhana. Bolak-balik antara Kota Hujan dan Ibu Kota membuatku merasa hampir tidak sanggup melakukannya. Ditambah jam kerja yang seakan terlalu menuntut.
            Hiburan satu-satunya sekaligus media untuk bersosialisasi hanyalah telepon genggam ini. meskipun termasuk penggila perangkat yang ada di komputer, namun aku tidak terlalu suka yang namanya berselancar di media sosial.
            Malam ini orang yang beruntung menerima SMS-ku contohnya adalah Naya. Teman dari Pulau Kalimantan yang kukenal 5 tahun lebih. Dua hari lalu kutahu ia merasa kecewa karena permintaannya yang tidak bisa kupenuhi. Setiap SMS yang ia kirim selalu diakhiri dengan emot sedih. Dia juga tipe perempuan yang hampir tidak pernah memulai lebih dulu untuk berkomunikasi denganku.
            “SMS ah.” Ketikku. Pesan terkirim.
            Tak berapa lama kemudian balasan dari Naya masuk. “SMS aja.” Balasnya.
            Wah, sangat jarang Naya membalas pesan singkatku dengan isi yang singkat pula. Hanya ada dua kemungkinan hal ini terjadi. Pertama, dia sedang berada dalam mood yang kurang bagus. Atau yang kedua, sedang melakukan usaha balas dendam. Naya memang sering protes karena SMS tidak penting dariku atau isi pesan singkat yang benar-benar singkat seperti sekarang. Beberapa kali dia pernah melakukan aksi balas dendam, tapi sikap jutekku berhasil membuat dia menyerah.
            Oke, baiklah. Sepertinya hal yang mustahil jika aku mengharap dia memulai topik pembicaraan.
            “Kapan nikah?” Pertanyaan pembuka yang kupilih.
            Selama ini selalu dia yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan serupa kepadaku tapi dia sendiri tidak pernah bercerita tentang rencana masa depannya. Sudah berapa lama jomblo, siapa pacar atau gebetannya sekarang, kapan target mau nikah, atau bagaimana tipe pria yang ia suka tidak pernah kuketahui. Dia tidak pernah cerita dan aku pun tak pernah bertanya. Yang kutahu sepertinya dia berkomitmen untuk tidak pacaran. Setidaknya dia sudah tidak pernah curhat sambil menangis-nangis tengah malam lagi karena cowok.
            Tanda pesan baru masuk ke ponselku. Sebaris kalimat tak terduga dari Naya untuk menjawab pertanyaanku. “Kamu sendiri kapan mau melamarku?”
            Tak pernah kukira sebelumnya kalau dia akan menjawab dengan pertanyaan yang langsung menohok ke hati.
            “Wow, shock gue bacanya.” Akuku.
            Maaf Nay, aku lelaki berotak kiri yang berpikir dengan menggunakan logika.



Banjarmasin, 17 April 2014

Senin, 01 Desember 2014

(Cerpen) Firasat


 
            “Dan, kamu tahu tadi pagi mama bilang apa sama aku?” Tanyaku suatu malam melalui SMS.
            Hampir setiap malam aku dan dia berkomunikasi hanya melalui teknologi pesan singkat sejak 5,5 tahun pertemanan kami. Jarak antarpulau yang dipisahkan oleh lautan membuat kami belum pernah sekali pun bertatap muka secara langsung.
            Tuk, tanda SMS baru masuk. Dari Dan. “Nggak tahu.” Balasnya singkat.
            Heuuuuuuh. Ini anak dari dulu kelakuannya memang begitu. Susah ditebak dan pelit sama kata-kata. Seperti orang yang SMS-nya bayar perkarakter saja. Pernah suatu kali kuprotes sikapnya itu, eh dia malah membalas dengan isi SMS yang “panjaaaaaaaaaaaang”. Dengan menggunakan kata “panjaaaaaaaang” maksudnya.
            Kuketik balasan untuknya tentang kejadian tadi pagi. “Mama bilang, pekerjaan di dapur itu jangan dilakukan satu-satu secara bergantian. Kalau bisa langsung sekaligus. Kalau satu-satu, nanti pas udah nikah, suami mau ke KANTOR malah telat karena nungguin masakan yang nggak selesai-selesai.” Sengaja kata kantor menggunakan huruf kapital semua. “Intinya, mama udah punya firasat bakal punya mantu kerja kantoran B-) .” SMS terkirim.
            Haha, jujur, aku paling suka menggoda teman yang satu ini. hatinya yang seolah tak tersentuh itu membuatku tak perlu merasa was-was atau apapun. Anehnya, sikap cuek seperti itulah yang membuatku nyaman berteman dengan dia.
            Tuk. Nama Dan tertera sebagai orang yang mengirim pesan ke ponselku. Ah, aku jadi penasaran dan selalu penasaran melihat bagaimana reaksinya setiap kali kugoda ia. Xixixixi.
            Kusentuh layar tanda buka pesan. Barisan pendek kata membentuk kalimat tertera di layar. “Wow, firasat gue bilang kalau gue harus cepat-cepat resign dari kantor.”
            Kali ini aku hanya tersenyum kemudian tertawa setelah membaca sebaris kalimat itu. hahahahaha. Firasatku mengatakan sepertinya aku ditolak lagi untuk kesekian kalinya.


Banjarmasin, 12 April 2014