Menatap wajah-wajah bahagia di hari
pernikahan adalah impian dari semua pasangan pengantin. Aku lihat penampakan
ekspresi wajah itu dari teman-teman kuliah. Bahagia, senang, iya, untuk saat
ini. Tapi wajah Abah-Mamaku? Ah, aku tak sanggup melihatnya lebih lama. Apa
mereka senang? Bahagia? Entahlah. Yang aku tahu, mata mama yang selalu
bercahaya itu terlihat redup. Ucapan selamat dari sanak saudara, kerabat, dan
tetangga hanya dibalas dengan senyum tanggung yang tipis dan teramat berat.
Bagi perempuan, menikah di usia 23 tahun
tidak ada yang salah. Pun ketika masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Banyak teman-teman kampusku melakukannya, bahkan ada yang sudah punya anak
satu. Lagi pula, bukankah setiap manusia menginginkan sebuah pernikahan? Tak
terkecuali aku. Tapi ini bukan pernikahan yang aku dan orang tuaku inginkan.
Dua minggu setelah acara ijab kabul dan
resepsi pernikahan berlangsung, tatapan dan ekspresi wajah-wajah senang itu
sebagian mulai berubah. Tatapan curiga, penuh tanda tanya, berbagai spekulasi,
suasana seperti itu yang seolah mengiringi langkah kakiku.
Seorang teman tanpa curiga dan tanpa
ekspresi bersalah berani bertanya, "Wah, sudah isi?" katanya saat
melihat perubahan bentuk fisikku. Aku hanya menjawab dengan tersenyum.
Seminggu lagi berlalu. Kini semua orang
mulai berbisik di belakangku.
Selaksa hembusan angin musim
kemarau..
Seribu wajah menatap murka...
Ribuan telunjuk menuding
marah...
Mulut-mulut berbau terus
mencerca...
"Perempuan
jalang"...
Itu yang mereka teriakkan
dalam diam...
Tak tahan dengan semua mata yang seolah
menghujam, dan bisikan yang seperti membakar, akhirnya kuteriakkan semuanya di
telinga-telinga orang yang haus.
"Apa aku salah memutuskan mengandung
aib ini? Mempertahankannya dengan pernikahan ketika ia sudah bersemayam 6 bulan
di rahimku? Saat ia tak mau pergi setelah kucoba membunuhnya sejak 3 bulan
lalu?"
Banjarmasin
130114